Minggu, 10 Mei 2009

Barack Obama dan Penjara Guantanamo

Presiden Amerika Serikat Barack Obama memang sosok yang mengejutkan sekaligus sosok yang mengaggumkan. Maklum, dia adalah presiden pertama berkulit hitam yang mendapat kemenangan luar biasa. Lalu apa yang telah dan akan dilakukan di masa 100 hari menjadi presiden?.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Pada pidato 100 hari masa pemerintahaan Presiden Amerika Barack Obama di Washington DC pada Kamis 30 April 2009, Obama menyampaikan beberapa capaian yang telah dan akan dilakukan diantaranya pemberian stimulus fiscal untuk mengatasi krisis keuangan di Amerika, menarik pasukan Amerika dari Irak dan memperbaiki citra penjara Guantanamo (penjara khusus teroris) dari mata dunia dan warga Amerika yang pro HAM.
Maklum, penjara Guantanamo yang digagas oleh dinasti Bush saat berkuasa selama beberapa dekade ini telah mendapat stigma negative dari mata dunia khususnya umat Islam.Metode interogasi dan perlakuan yang digunakan petugas di penjara ini telah mengabaikan etika kemanusiaan.
Penjara Guantanamo sendiri merupakan penjara yang super ketat dengan pengamanan maksimum yang menampung hampir 700 orang-orang yang selama ini dianggap oleh dinasti Bush sebagai teroris. Guantanamo terletak di pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Guantanamo di Kuba.
Dalam bukunya yang berjudul For Good and Country “korban paranoid Amerika”, James Yee menceritakan pengalaman pahitnya selama bertugas di Guantanamo sebagai ulama militer di Guantanamo.
James Yee sendiri adalah seorang anggota militer dengan pangkat kapten di US Army. Di buku setebal 364 halaman ini, James menceritakan pengalaman buruk yang pernah dialami selama berada di Guantanamo. Ia dituduh sebagai mata-mata teroris sampai akhirnya James di tahan di bawa ke sebuah tempat dan diinterogasi oleh petugas tanpa peduli jabatannya sebagai kapten lulusan dari West Point, sebuah akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat.
James juga menceritakan perlakuan petugas di Guantanamo terhadap kitab suci Al-Qur’an. Polisi militer di Guantanamo, menurut James, sering menggunakan lembaran-lembaran Al-Qur’an untuk membersihkan lantai. Tak heran, di tempat ini banyak ditemukan lembaran Al-Quran seperti kertas sampah.
Membaca kisah James yang diekspresikan dalam bukunya itu, membuat kita jadi penasaran tentang rencana Obama untuk menghilangkan kebiasaan buruk di Guantanamo. Apakah rencana ini akan dapat direalisasikan atau hanya sekadar trik memberikan kepercayaan terhadap dunia. Maklum, masa pemerintahan Obama sedang terjadi krisis keuangan yang membuat negara adidaya ini kewalahan menghadapi perekonomiannya sendiri.
Kita berharap Obama betul-betul serius membersihkan sentiment negatif dari dunia khususnya umat muslim yang selama ini sering disakiti, baik dari sisi psikologi maupun fisik. (Ditulis pada Sabtu,2 Mei 2009 pukul 02.15 dini hari)



Sabtu, 17 Januari 2009

Secangkir Teh Ingatkan Palestina


Hampir setiap petang sepulang kerja, istri selalu menawarkan teh manis kepada saya. “Minum teh hangat ya bi,” kata istri. Aktivitas selama setengah hari, menahan sengatan matahari, bertempur dengan deru knalpot dan berlari mengejar nara sumber. Itulah aktivitas rutin saya sejak bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian local, yang satu group dengan Jawa Pos, pimpinan Dahlan Iskan.

Secangkir teh itu, rasanya nikmat dan mampu mengilangkan kelelahan, kepenatan dan sedikit stres. Suasana terasa hidup dengan ceriwisnya Fadia, anak saya yang baru usia 8 bulan. “Ha,ha,…” teriak Fadia setiap kali diajak bermain. Secangkir teh hangat memang menjadi teman setia saya setiap pulang kerja. Meski terkadang tidak habis sehingga membuat istri “nyanyi-nyanyi” kepada saya.

Usai menghabiskan teh hangat suguhan dari istri, pikiran saya mendadak “terusik” dengan peristiwa peperangan di Jalur Gaza, Palestina. Pikiran ini semakin terusik, menerawang jauh ke negeri yang menjadi kiblat pertama umat Islam dan tempat lahirnya para nabi.
Yah, pikiran dan hati ini makin terusik ketika membaca berita di koran kompas, edisi Kamis (15/1). “Dua Gelas teh hangat Sadeli di Rafah,” demikian judul berita tersebut. Judul ini pula yang memberikan insipirasi untuk menuliskan kebiasaan saya minum teh setiap pulang kerja. Terbayangkan dalam ilustrasi otak saya, bagaimana pedih dan sakitnya rakyat Palestina.
Hidup di tengah dentuman bom dan mortar Israel, derap kaki serdadu zionis Isreal pun menambah perihnya kehidupan sekitar 1,5 juta jiwa rakyat Palestina. Resolusi PBB agar ada gencatan senjata pun diabaikan. Kalau saya bayangkan mirip tragedi pembantaian yang pernah dilakukan oleh Adolf Hitler.

Dalam buku yang berjudul 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah karangan Michael H Hart, diceritakan secara detail bagaimana kekejaman yang dilakukan oleh pria A Hitler Asutria ini. Selama berkuasa Hitler merupakan pembunuh yang tiada tandingnya. Bayangkan, dalam waktu beberapa tahun saja Hitler membunuh secara sadis 6 juta orang.
Pertanyaan saya, apakah Israel akan kembali mengulangi sadisme ini kepada rakyat Palestina?. Secangkir teh hangat yang saya minum setiap shalat maghrib bersama istri dan anak. Telah mengingatkan saya bahwa kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina merupakan prilaku yang menyengsarakan.

Kepedihan jiwa yang dirasakan oleh saya, istri dan Fadia, anak pertama saya jadi terusik oleh tingkah dan kekejaman Israel kepada rakyat Palestina. Anak-anak menjerit ketika harus dioperasi tanpa dibius, para istri terpaksa menjadi janda karena suaminya diberondong peluru dan rudal Israel, yang membabi buta.

Kepiluan kami dan seluruh umat Islam yang sadar akan hakekat persauadaraan Islam, yang pernah dicontohkan oleh Muhammad Saw, tak kan pernah berakhir sebelum rakyat Palestina dapat meneguk air teh hangat dan bercanda dengan kelucuan anak-anak mereka.

Menurut catatan dari sejumlah media, sepanjang dua pekan penyerangan, 900 rakyat Palestina tewas yang setengahnya adalah anak-anak dan wanita, gedung-gedung roboh. Kekejian Israel pun semakin tampak ketika bantuan kemanusiaan dilarang masuk ke jalur Gaza.
Secangkir teh hangat yang manis, semoga sajian nikmat ini bisa direguk kembali oleh rakyat Palestina, tanpa dilingkari oleh gumpalan asap rudal, pekikan suara peluru dan mortir. Do’a kami selalu menyertai kalian, rakyat Palestina. ###

Kekuatan Cinta


Tidak bisa didefinisikan, menggetarkan jiwa dan hati kita, bergemuruh di dalam diri kita, itulah kata cinta. Wajar jika Ibnu Qoyim Al-Jauziah dalam bukunya yang berjudul taman-taman orang jatuh cinta, mengatakan, semestinya kecintaan seorang muslim kepada Allah SWT, jauh lebih besar daripada rasa takut karena saking dahsyatnya kekuatan cinta.

Lalu kita bertanya kenapa rasa cinta harus lebih besar daripada rasa takut kita kepada Allah SWT, Al-Jauziah menerangkan, kalau rasa takut lebih dominan menyelinap dalam bayang-bayang diri kita, maka yang muncul adalah ingin menjauh, menipisnya semangat pengorbanan dan tak ada ketulusan menjalankan ibadah. Namun, yang ada justru perintah ibadah menjadi beban dan terasa berat.

Namun, jika rasa cinta kita kepada Allah SWT lebih besar maka akan melahirkan kesetiaan, pengorbanan, ketulusan pun akan muncul dalam diri kita. Ibadah kita, pekerjaan kita, sodakoh kita, akan terasa ringan karena memang kita untuk yang kita cintai. Shalat dan dzikirpun tidak menjadi beban melainkan kebutuhan.

Kekuatan cinta seperti ini pula yang pernah dibuktikan oleh Masyitoh dan keluarganya. Dengan senyum mereka menjemput nyawa akibat kekejian Fir’aun. Masyitoh dimasukan ke dalam kuali yang berisi air panas. Rasa sakit, pedih dan pilu terkalahkan oleh rasa cintanya kepada Allah SWT.

Begitulah kekuatan cinta yang sungguh luar biasa. Tak heran, jika setiap orang ingin dicintai dan mencintai meskipun harus mengorbankan nyawa sekalipun. Atas kekuatan cinta pula, William Shakespeare, seorang penyair asal Inggris menuliskan kisah Romeo and Juliet.

Masih banyak kekuatan-kekuatan cinta yang mampu membangkitkan jiwa, sehingga jiwa tadinya tertidur dan lemah, menjadi kuat seperti pagar tembok yang tak runtuh diterjang badai. Gambaran ini yang dilakukan Mohandas Gandhi, seorang tokoh besar India yang mencintai rakyat dan tanah airnya. Dengan jargonnya tanpa kekerasan, Ghandi mampu mengusir penjajah Inggris tanpa kekerasan.

Kekuatan cinta pula yang menggerakan rakyat Palestina habis-habisan mempertahankan tanah air mereka dari penjajah Israel. Meski para pejuang Palestina paham betul bahwa persenjataan mereka sangat terbatas jika dibandingkan dengan Israel.

Namun karena kekuatan cinta, pejuang Palestina tak gentar menghadapi semua gempuran Israel. Kematian bagi mereka adalah pintu untuk bertemu, bersua dan berkasih dengan Allah SWT. Begitulah kekuatan cinta, apapun akan dilakukan demi sesuatu yang dicintainya. ****

Rabu, 26 November 2008

Bola dan Buku [1]


Golden Age atau usia emas menurut para ahli adalah masa yang paling menentukan perkembangan potensi anak. Pada usia 0-3 tahun ini diyakini masa yang paling baik untuk mengajak anak mengeksplorasi dan unjuk potensi.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Bermain dan becanda dengan anak merupakan kegiatan saya setelah selesai melakukan tugas pencarian dan penulisan berita. Aktivitas seperti ini biasanya saya lakukan pagi dan sore hari. Sebagai seorang lelaki yang baru pertama kali dikaruniai anak oleh Allah SWT, kegiatan ini sangat mengasyikan karena dapat melenturkan otot ketegangan dan kelusuhan selama seharian bekerja.
Apalagi, kini Fadia sudah bisa mengenal siapa orang disekelilingnya meskipun bahasanya masih gelepotan ketika meminta sesuatu kepada saya dan istri. Sebagai keluarga muda yang belum berpengalaman dalam menentukan metode pendidikan anak, kami berdua hanya bisa mengasah dengan cara rajin membaca buku, majalah, koran, dan artikel tentang anak di internet.
Tak jarang, kami bertiga menyempatkan rekreasi di toko buku sebulan sekali. Sayang, di tempat tinggal kami belum ada toko buku yang lengkap sehingga agak kesulitan melengkapi beberapa judul buku.
November 2008, Fadia memasuki usai 7 bulan dan ia sudah mulai suka bermain dengan benda-benda yang disukai. Diantara benda yang paling menarik perhatiannya adalah bola plastik, koran dan buku. Bola plastik yang warna-warni memang menggoda Fadia, terutama saat anak kelahiran 20 April 2008 ini selesai dimandikan.
Handuk kuning bergambar kartun yang dililitkan pada badan Fadia, tidak menghalangi untuk tetap bermain dengan bola plastik yang saya beli secara tidak sengaja, di area komplek Masjid Agung At-Tsaurah, Kota Serang, Provinsi Banten, usai menghadiri kuliah dhuha.
Bola seharga Rp 2.000 itu sering membuat Fadia jengkel karena saat dipegang selalu lepas. Maklum, tangannya terlalu kecil untuk memegang erat bola itu. Jika sudah seperti ini, biasanya gadis cilik yang mendapat julukan nyi lebrak oleh neneknya ini, akan beteriak-teriak kepada kami untuk minta dibantu.
Jika hal ini terjadi, saya dan istri sepakat untuk tidak memberikan bantuan secara cuma-cuma. Kesepakatan ini untuk melatih anak yang memiliki nama lengkap Hazimah Ayu Fadia ini, terbiasa dengan usaha dan kerja keras jika menginginkan impiannya tercapai. Sebagai salahsatu proses pembelajaran, kami berdua hanya akan mengangkat badan Fadia supaya berdiri untuk selanjutnya gadis cilik ini, dibiarkan loncat-loncat dengan irama teriakan yang memekan telinga.
Stimulus atau rangsangan seperti ini ternyata cukup berhasil meskipun belum sempurna. Hal ini terlihat ketika bola plastik lepas, Fadia langsung memutar badannya dan digerakan maju ke arah bola yang ada di depan wajahnya. Namun, badan yang gemuk membuat Fadia agak berat melakukan hal ini sehingga ujung-ujungnya ia tetap menangis.
Setelah beberapa kali diamati pada permainan bola ini, Fadia mulai pintar menggunakan akalnya agar pegangan bolanya tidak lepas. Kini, yang dipegang oleh gadis lucu ini bukan langsung bolanya melainkan tali berwarna putih yang mengikat di bola tersebut. “Bi, Fadia sekarang pintar loh. Jadi, biar tidak lepas yang dia pegang talinya,” kata istri saya dengan bangga karena rangsangan logikanya sedikit demi sedikit sudah mulai diterima oleh Fadia. ***

Sabtu, 06 September 2008

Kisah Nelayan Cilik di Desa Lontar, Serang


Di saat deburan ombak mulai terdengar nyaring, hembusan angin laut pun terasa merinding. Ketika itulah Ade Putra (11) bersama ayahnya Saikam, sekira pukul 03.00 dini hari bangun untuk bergulat di tengah laut mencari ikan guna menyambung kelangsungan hidup mereka.

Oleh Karnoto

Rutinitas seperti ini sudah dilakukan Ade sejak usia 10 tahun. Maklum, sejak status siswanya hilang akibat himpitan ekonomi dua tahun lalu. Ade selalu menemani ayahnya mencari ikan di tengah gelombang laut. “Kalau ombaknya lagi tinggi saya tidak boleh ikut sama bapak,” kata Ade, bocah yang hanya menamatkan kelas 4 sekolah dasar ini, kepada Radar Banten, di belakang rumahnya di pinggir pantai Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Sabtu (6/9).

Hari itu, Ade tidak ikut meluat karena sedang musim angin dan lagi berpuasa. “Dina iki mah ore melu ning laut, angine lagi gede mengko puasane batal (red-hari ini tidak ikut anginnya lagi besar nanti puasanya batal),” kata Ade yang saat itu mengenakan kaos hitam.

Ditemui disela-sela bermain dengan teman sekampungnya, bicah berambut pirang ini mengaku ingin sekolah lagi seperti anak-anak lainnya. “Saya keluar karena ketika itu orangtua tidak punya uang untuk membayar sekolah,” kata Ade seraya mengaku kalau tunggakannya ketika itu mencapai Rp 200.000.

Kisah Ade ini, hanyalah salahsatu contoh tentang nasib anak para nelayan yang kian hari semakin terhimpit ekonominya. Masih ada belasan anak di desa ujung utara Kabupaten Serang ini yang mengalami nasib seperti Ade. Kondisi cuaca yang buruk ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), membuat orang tua mereka tidak berdaya untuk menyekolahkan anaknya, kendati masa kehidupannya masih sangat panjang.

Nasib yang serupa dialami oleh kakaknya Santi (15), gadis cilik yang terpaksa putus sekolah dasar empat tahun lalu. Bahkan, Karda (10), teman sebaya Ade pun tidak mampu menghadapi sesaknya nafas ekonomi orangtua mereka hingga akhirnya keluar dari sekolah dasar saat kelas tiga. Kini, Ia hanya mampu menelan keinginannya ketika melihat temannya memakai seragam merah putih untuk sekolah.

“Karda juga sering ikut orangtuanya pergi melaut pak,” kata Ade seraya menunjukan jari telunjuknya kepada wajah Karda yang ketika itu duduk berhadapannya.

Nasib sedikit beruntung dialami oleh Sarah (15), gadis cilik yang masih tetangga dengan Ade. Sarah berhasil menamatkan sekolah dasarnya di SDN I Lontar. Namun, sayang, Sarah pun tidak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya karena orangtuanya sudah tidak sanggup membiayai sekolah. “Sebetulnya mah ingin dilanjutkan tapi biaya darimana?. Jangankan untuk sekolah, wong buat makan saja masih susah,” keluh Sanin, orangtua Sarah seraya berharap kepada pemerintah agar membantu anaknya itu.

Radar Banten mencoba menanyakan kepada Sanin penghasilan dari tangkapan ikan selama satu hari. Menurut Sanin, hasil tangkapan ikan setiap harinya hanya menyisakan uang sebesar Rp 20.000 per sekali melaut. “Bayangkan, berangkat jam tiga pulang jam empat sore. Eh, dapatnya cuma Rp 20.000. Uang sebesar ini di jaman sekarang mah cukup buat beli beras sehari,” kata Sanin seraya mengusap rambut adiknya Sarah yang kebetulan dipangku.

Mendengar cerita Sanin, kita sudah dapat membayangkan, betapa hebatnya para nelayan cilik di desa yang hanya berjarak kurang 1,5 jam dari pusat ibukota Provinsi Banten. Mereka dipaksakan bertempur selama kurang lebih 14 jam di tengah gelombang laut, yang sewaktu-waktu bisa mengancam keselamatan mereka.

Meskipun tidak melaut setiap hari, tapi bagi Ade, Karda, Samin dan teman-temanya, itu merupakan kondisi yang sebetulnya tidak mereka inginkan. “Makanya kalau lagi bosan kita main-main di pinggir pantai,” kata Samin, teman sepermainan Ade.

Akibat kondisi itu, anak-anak di desa ini seolah sudah kehilangan arah hidupnya. Beberapa kali Radar Banten menanyakan cita-cita atau harapannya setelah besar nanti, mereka terdiam dan tampak bingung. “Tidak tahu mau jadi apa,” kata anak-anak yang mengaku ingin sekolah lagi.

Orangtua mereka hanya berharap pemerintah turun tangan untuk bisa membantu agar para nelayan cilik ini bisa sekolah lagi. “Saya yang sudah tua juga ingin bisa baca pak. Apalagi anak-anak, yang masa hidupnya Insya Allah masih lama,” aku Sanin dengan penuh harap. ****


Sabtu, 21 Juni 2008

Melihat KBM Siswa SDN Bendungan Setelah Roboh

Belajar masih di dawah tenda dan beralaskan tanah
31 Juli 2007 lalu, empat lokal ruangan SDN Bendungan di Desa Pud
ar, Kecamatan Pamarayan, ambruk. Sejak itu, ratusan siswa sekolah dasar ini mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam suasana yang tidak nyaman.

KARNOTO, Radar Banten, 04-September-2007

Satu bulan lebih, musibah yang menimpa gedung sekolah milik Pemkab Serang itu terjadi. Namun, Senin (3/9), suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah itu masih sama ketika Radar Banten datang tidak lama setelah empat lokal ruangan gedung sekolah itu ambruk.
Oleh pihak sekolah, siswa masih ditempatkan dalam empat ruangan sempit dengan atap terpal berwarna biru, berdinding seng berkarat, dan beralaskan tanah yang kerap menimbulkan debu ketika angin bertiup sedikit kencang.

Sekira pukul 11.00 WIB, siswa kelas 3, 4, dan 5, terlihat sedang menyimak pelajaran. Namun para siswa itu sama sekali tidak dapat berkonsentrasi karena udara di dalam ruang sempit berdinding seng itu panas. Sehingga sejumlah siswa melepas beberapa kancing atas baju putihnya yang sudah lusuh. “Pak, panas. Istirahat saja dulu ya,” pinta salah seorang siswa sambil mengipas-kipaskan buku LKS-nya.
Ruangan yang tidak layak disebut kelas itu merupakan hasil swadaya masyarakat Desa Pudar yang peduli dengan dunia pendidikan. “Ini berkat kesadaran masyarakat yang menginginkan anaknya tetap bersekolah,” kata Mansur, warga Desa Pudar.
Gedung SDN Bendungan saat ini hanya dua ruang kelas dan satu ruang guru. Ruang kelas itu digunakan siswa kelas 1 dan 2, sementara kelas 6 menggunakan ruang guru yang disekat dengan kayu lapis atau triplek.

Meskipun kelas 6 berada di dalam gedung, suasana belajar yang nyaman tetap sulit dirasakan. Sebab, bangku tidak ada sehingga siswa belajar di lantai beralaskan terpal. “Daripada tidak belajar, pakai terpal juga tidak apa-apa,” aku Sri, siswa kelas 6 memegangi buku tulisnya.

Dunia pendidikan di Kabupaten Serang kembali menjadi sorotan. Empat ruangan masing-masing kelas 2, 3, 4, dan 5 SDN Bendungan Pamarayan, Desa Pudar, Kecamatan Pamarayan, ambruk, Senin (30/7) pukul 10.00 WIB. Puluhan siswa yang masih berada di dalam kelas mengalami luka memar setelah tertimpa reruntuhan.
Tiga hari sebelumnya, Radar Banten sempat merekam kekhawatiran para dewan guru (edisi Sabtu, 28/7). Saat itu, mereka mengkhawatirkan bangunan akan roboh sebab sejak dibangun tahun 1982 hingga sekarang tidak pernah direhab. Ternyata kekhawatiran itu terbukti pada Senin (30/7), empat ruangan kelas ambruk.

Maksum, salah seorang wali murid menuturkan, saat bangunan ambruk aktivitas belajar mengajar di sekolah sedang istirahat. “Saat itu, tiang sekolah patah disusul ambruknya atap bangunan dan menimpa puluhan siswa yang masih berada di dalam ruang kelas,” katanya kepada Radar Banten, Senin (30/7).

Kejadian itu memaksa pihak sekolah memerintahkan siswa pulang ke rumah masing-masing. Maksum menegaskan, salah satu siswa kelas tiga, Nia Amelia, mengalami luka agak serius.
Maksum menjelaskan, bangunan sekolah ambruk karena sejak dibangun tahun 1982 belum pernah direhab. Padahal, ada 190 siswa yang belajar di sekolah tersebut. “Kalau pemerintah tidak segera memperbaiki sekolah maka kami wali murid ramai-ramai akan mendatangi Dinas Pendidikan (Dindik) Serang,” ungkap Maksum dengan nada kesal.

Kondisi gedung SDN Bendungan memang memprihatinkan. Enam lokal ruangan kelas, sama sekali tidak mencerminkan bangunan sekolah. Dinding sekolah hanya terbuat dari anyaman bambu, tiang kayu keropos, lantai beralaskan tanah berdebu, dan tidak ada pemisah antarkelas.
Sementara atap bangunan yang terbuat dari seng sudah tidak utuh. Di samping itu, jumlah kursi sangat terbatas. Jika musim kemarau dan hujan aktivitas belajar dihentikan sementara.
Wakil Kepala SDN Bendungan Wahyadi meminta pemerintah segera merehab bangunan sekolah yang ambruk supaya proses belajar mengajar siswa kembali normal. “Kami sudah mengajukan kepada Dindik Serang dan dijanjikan tahun 2007. Tapi sampai sekolah ambruk tidak ada kepastian kapan akan direhab,” kata Wahyadi.

Wahyadi juga mengatakan, empat ruang kelas yang ambruk memang memprihatinkan sebelumnya. Meski ambruk, Wahyadi menegaskan, aktivitas belajar mengajar tetap berjalan dengan menggunakan tenda darurat. “Sambil menunggu rehab dari pemerintah, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa. Hanya saja, tempat belajar menggunakan tenda,” katanya.

Nina, salah satu mahasiswa Untirta yang sedang melakukan kuliah kerja mahasiswa (KKM) di desa tersebut menuturkan, kaget saat baru kali pertama melihat kondisi bangunan sekolah yang memprihatinkan. “Kita berpikir, kalau bangunannya seperti ini bagaimana belajarnya,” ujar Nina.
Nina mengakui, kondisi itu tidak membuat aktivitas belajar berjalan efektif. ”Kami merasakan proses belajar mengajar tidak bisa berjalan efektif,” aku Nina yang juga mengajar di sekolah tersebut selama menempuh KKM.
(*)

Melihat KBM Madrasah Diniyah Desa Teritih, Banten

Lagi aerius belajar tiba-tiba kursi ambruk, siswa pun terpelanting
Bangunan itu Nyaris Ambruk. Tiang penyangganya rapuh dimakan rayap
Sedangkan jendela ditutup bilahan bambu mirip kandang ayam. Begitu pula atap maupun temboknya, kusam bahkan mengelupas, pertanda bangunan tersebut telah uzur. Itulah gedung madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) Kp Sidapurna, Desa Teritih, Serang.

KARNOTO, Radar Banten, Kamis, 27-Juli-2006



Seperti biasa, suasana kelas siang itu begitu ramai oleh suara anak-anak yang tengah bersiap memulai pelajaran. Tiba-tiba, terdengar umpatan seorang anak.

”Ini kan tempat duduk saya, kamu cari yang lain dong,” kata anak tersebut kepada temannya bernama Aisyah.

Aisyah yang merasa diusir tak terima diperlakukan demikian. Ia pun mengadu. ”Kak, masa’ tempat duduk Aisyah ditempati, Aisyah duduk di mana dong,” ujar Aisyah (8) kepada Irma (20), sang pengajar.

Suasana seperti itu memang sering terjadi di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sidapurna. tersebut. Maklum, jumlah kursi kayu yang tersedia dengan jumlah anak tidak seimbang. Jadi, siapa yang datangnya lebih awal dialah yang akan mendapatkan kursi.

Sedangkan yang terlambat datang, terpaksa menunggu belas kasihan rekannya untuk berbagi tempat duduk.

”Kasihan mereka, semangat belajarnya tinggi, namun keadaan sekolah seperti itu. Jumlah meja dan kursi sangat minim, bisa dihitung dengan jari sebelah, itu pun kondisinya sudah reot, kalau ditempati sering bunyi,” terang Irma (20), guru relawan yang masih berstatus mahasiswa.

”Pernah suatu waktu, ketika proses belajar mengajar sedang berjalan, tiba–tiba salah satu kursi ambruk hingga mengakibatkan beberapa anak tepelanting,” Irma bercerita.

Masih untung, hanya kursi yang ambruk, tapi bagaimana jika bangunan yang tiba-tiba roboh? Itulah yang sering dikhawatirkan pengelola maupun masyarakat setempat. ”Kita mah khawatir terhadap nasib anak–anak (jika sewaktu-waktu bangunan roboh-red),” ungkap salah seorang warga penuh khawatir.
Kondisi seperti ini memang amat dilematis.

Di satu sisi, bangunan beserta fasilitas pendukungnya tidak memenuhi syarat, di sisi lain, madrasah ini menjadi satu-satunya tumpuan anak–anak Sidapurna untuk belajar agama. ”Kami kan harus mencari uang untuk biaya hidup sehari–hari, jadi tidak sempat mengajari anak kami soal agama.

Makanya kehadiran sekolah ini berarti bagi kami,” ujar seorang warga.

Usia sekolah ini cukup tua memang, sudah hampir 15 tahun. Namun sejak awal berdiri, bangunannya tidak berubah sedikit pun.

Genteng yang hitam pekat dan sudah tipis akibat menahan gempuran air hujan, ruangan yang pengap, pagar sekolah pun tinggal sisa lima meter akibat terkikis air hujan terus menerus karena hanya terbuat dari bambu kering yang ditancapkan di tanah.

Warga sudah terlalu sering menggantinya, namun hanya mampu bertahan dua sampai tiga bulan. Setelah itu hanyut terbawa air. Dalam penilaian warga, bangunan sekolah madrasah hanya akan mampu bertahan sekitar satu sampai tiga tahun ke depan, itu pun kalau tidak terkena air tiap harinya.

Menghadapi kondisi yang serba dilematis ini, Somali, tokoh masyarakat yang dipercaya menjadi kepala madrasah tak mampu berbuat banyak. ”Itulah yang sampai saat ini belum terpikirkan, bagaimana nantinya kalau bangunan itu betul–betul ambruk.

Berharap swadaya masyarakat jelas tidak mungkin karena untuk kebutuhan sehari–hari saja, biasanya mereka harus utang dulu, dibayar setelah suaminya pulang dari Jakarta,” kata Somali dengan raut muka yang sedih.

Di saat musim hujan, sekolah harus dibersihkan terlebih dahulu karena banyak genangan air yang ada di dalam ruang kelas. Kalau sudah seperti ini, anak–anaklah yang bekerja membersihkan ruangan. Proses belajar mengajar pun terpaksa ditunda sampai tak ada lagi genangan air. ”Biasanya kalau hujan, kami ramai–ramai bawa sapu lidi untuk membersihkan genangan air,” terang Hodijah, salah satu siswi.

”Bukan kami tidak ingin merenovasi gedung sekolah ini. Namun apa daya, untuk iuran siswa saja yang jumlahnya hanya seribu rupiah per bulan, terpaksa ditiadakan karena para orangtua siswa tidak sanggup membayarnya,” ujar Somali.

Kendati demikian, Somali beserta para pengelola mencoba tetap bertahan agar kegiatan belajar mengajar terus berlangsung. ”Walaupun kondisi sekolah seperti itu, tapi kami tetap akan mengajar anak–anak. Selain kasihan pada mereka, juga itung–itung amal buat bekal akhirat nanti,” ungkap salah seorang guru madrasah dengan penuh semangat.

Sebetulnya, bukan tak ada upaya dari pengelola maupun masyarakat untuk memperbaiki bangunan. Selain mencari donatur, beberapa kali mereka mengirim proposal bantuan dana kepada pemerintah. ”Beberapa waktu lalu kami mengajukan proposal renovasi gedung ke pemerintah, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan.

Tapi mudah–mudahan dengan adanya Perda Diniyah, pemerintah akan lebih memperhatikan sekolah madrasah ini,” ungkap Somali dengan penuh harap.
Kini sekolah madrasah dengan jumlah murid 100 orang dan empat guru ini sudah berjalan enam tahun sejak diaktifkan kembali pada 2000 silam. Sebagai kepala sekolah, Somali tahu betul, sekolah ini masih membutuhkan guru, tapi mau bagaimana lagi, biaya untuk gaji guru tidak ada. Sementara ini honor para guru cuma Rp 200 ribu per bulan, itu pun atas bantuan LAZ Harapan Dhuafa, sebuah lembaga sosial keagamaan.

Bangunan madrasah ini sebetulnya ada lima kelas, namun hanya tiga kelas yang bisa digunakan. Dua kelas lagi tidak memungkinkan digunakan untuk belajar karena sering kebanjiran kalau musim hujan, di samping tidak ada kursi belajarnya. Selain tempat belajar agama, madrasah ini juga digunakan untuk kegiatan Kejar Paket B.

Di bawah bayang-bayang kursi ambruk dan bangunan roboh, anak-anak Kampung Sidapurna tak surut belajar. (***)