Lagi aerius belajar tiba-tiba kursi ambruk, siswa pun terpelanting
Bangunan itu Nyaris Ambruk. Tiang penyangganya rapuh dimakan rayapSedangkan jendela ditutup bilahan bambu mirip kandang ayam. Begitu pula atap maupun temboknya, kusam bahkan mengelupas, pertanda bangunan tersebut telah uzur. Itulah gedung madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) Kp Sidapurna, Desa Teritih, Serang.
KARNOTO, Radar Banten, Kamis, 27-Juli-2006
Seperti biasa, suasana kelas siang itu begitu ramai oleh suara anak-anak yang tengah bersiap memulai pelajaran. Tiba-tiba, terdengar umpatan seorang anak.
”Ini kan tempat duduk saya, kamu cari yang lain dong,” kata anak tersebut kepada temannya bernama Aisyah.
Aisyah yang merasa diusir tak terima diperlakukan demikian. Ia pun mengadu. ”Kak, masa’ tempat duduk Aisyah ditempati, Aisyah duduk di mana dong,” ujar Aisyah (8) kepada Irma (20), sang pengajar.
Suasana seperti itu memang sering terjadi di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sidapurna. tersebut. Maklum, jumlah kursi kayu yang tersedia dengan jumlah anak tidak seimbang. Jadi, siapa yang datangnya lebih awal dialah yang akan mendapatkan kursi.
Sedangkan yang terlambat datang, terpaksa menunggu belas kasihan rekannya untuk berbagi tempat duduk.
”Kasihan mereka, semangat belajarnya tinggi, namun keadaan sekolah seperti itu. Jumlah meja dan kursi sangat minim, bisa dihitung dengan jari sebelah, itu pun kondisinya sudah reot, kalau ditempati sering bunyi,” terang Irma (20), guru relawan yang masih berstatus mahasiswa.
”Pernah suatu waktu, ketika proses belajar mengajar sedang berjalan, tiba–tiba salah satu kursi ambruk hingga mengakibatkan beberapa anak tepelanting,” Irma bercerita.
Masih untung, hanya kursi yang ambruk, tapi bagaimana jika bangunan yang tiba-tiba roboh? Itulah yang sering dikhawatirkan pengelola maupun masyarakat setempat. ”Kita mah khawatir terhadap nasib anak–anak (jika sewaktu-waktu bangunan roboh-red),” ungkap salah seorang warga penuh khawatir.
Kondisi seperti ini memang amat dilematis.
Di satu sisi, bangunan beserta fasilitas pendukungnya tidak memenuhi syarat, di sisi lain, madrasah ini menjadi satu-satunya tumpuan anak–anak Sidapurna untuk belajar agama. ”Kami kan harus mencari uang untuk biaya hidup sehari–hari, jadi tidak sempat mengajari anak kami soal agama.
Makanya kehadiran sekolah ini berarti bagi kami,” ujar seorang warga.
Usia sekolah ini cukup tua memang, sudah hampir 15 tahun. Namun sejak awal berdiri, bangunannya tidak berubah sedikit pun.
Genteng yang hitam pekat dan sudah tipis akibat menahan gempuran air hujan, ruangan yang pengap, pagar sekolah pun tinggal sisa lima meter akibat terkikis air hujan terus menerus karena hanya terbuat dari bambu kering yang ditancapkan di tanah.
Warga sudah terlalu sering menggantinya, namun hanya mampu bertahan dua sampai tiga bulan. Setelah itu hanyut terbawa air. Dalam penilaian warga, bangunan sekolah madrasah hanya akan mampu bertahan sekitar satu sampai tiga tahun ke depan, itu pun kalau tidak terkena air tiap harinya.
Menghadapi kondisi yang serba dilematis ini, Somali, tokoh masyarakat yang dipercaya menjadi kepala madrasah tak mampu berbuat banyak. ”Itulah yang sampai saat ini belum terpikirkan, bagaimana nantinya kalau bangunan itu betul–betul ambruk.
Berharap swadaya masyarakat jelas tidak mungkin karena untuk kebutuhan sehari–hari saja, biasanya mereka harus utang dulu, dibayar setelah suaminya pulang dari Jakarta,” kata Somali dengan raut muka yang sedih.
Di saat musim hujan, sekolah harus dibersihkan terlebih dahulu karena banyak genangan air yang ada di dalam ruang kelas. Kalau sudah seperti ini, anak–anaklah yang bekerja membersihkan ruangan. Proses belajar mengajar pun terpaksa ditunda sampai tak ada lagi genangan air. ”Biasanya kalau hujan, kami ramai–ramai bawa sapu lidi untuk membersihkan genangan air,” terang Hodijah, salah satu siswi.
”Bukan kami tidak ingin merenovasi gedung sekolah ini. Namun apa daya, untuk iuran siswa saja yang jumlahnya hanya seribu rupiah per bulan, terpaksa ditiadakan karena para orangtua siswa tidak sanggup membayarnya,” ujar Somali.
Kendati demikian, Somali beserta para pengelola mencoba tetap bertahan agar kegiatan belajar mengajar terus berlangsung. ”Walaupun kondisi sekolah seperti itu, tapi kami tetap akan mengajar anak–anak. Selain kasihan pada mereka, juga itung–itung amal buat bekal akhirat nanti,” ungkap salah seorang guru madrasah dengan penuh semangat.
Sebetulnya, bukan tak ada upaya dari pengelola maupun masyarakat untuk memperbaiki bangunan. Selain mencari donatur, beberapa kali mereka mengirim proposal bantuan dana kepada pemerintah. ”Beberapa waktu lalu kami mengajukan proposal renovasi gedung ke pemerintah, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan.
Tapi mudah–mudahan dengan adanya Perda Diniyah, pemerintah akan lebih memperhatikan sekolah madrasah ini,” ungkap Somali dengan penuh harap.
Kini sekolah madrasah dengan jumlah murid 100 orang dan empat guru ini sudah berjalan enam tahun sejak diaktifkan kembali pada 2000 silam. Sebagai kepala sekolah, Somali tahu betul, sekolah ini masih membutuhkan guru, tapi mau bagaimana lagi, biaya untuk gaji guru tidak ada. Sementara ini honor para guru cuma Rp 200 ribu per bulan, itu pun atas bantuan LAZ Harapan Dhuafa, sebuah lembaga sosial keagamaan.
Bangunan madrasah ini sebetulnya ada lima kelas, namun hanya tiga kelas yang bisa digunakan. Dua kelas lagi tidak memungkinkan digunakan untuk belajar karena sering kebanjiran kalau musim hujan, di samping tidak ada kursi belajarnya. Selain tempat belajar agama, madrasah ini juga digunakan untuk kegiatan Kejar Paket B.
Di bawah bayang-bayang kursi ambruk dan bangunan roboh, anak-anak Kampung Sidapurna tak surut belajar. (***)